Daily Archives: February 21, 2009

POTRET PEMBANGUNAN EKONOMI DI INDONESIA Perspektif Konsep Kapabilitas Berfungsi Amartya Sen

Sutia Budi * & Pitri Yandri **

Hingga saat ini, pandangan banyak ahli ekonomi pembangunan terhadap pembangunan ekonomi masih diwarnai oleh dikotomi antara pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pembangunan. Masih adanya kontroversi antara mana yang lebih dahulu untuk dilakukan dan dicapai, pertumbuhan ekonomi atau pemerataan pembangunan. Kontroversi tersebut muncul disebabkan karena penerapan strategi pembangunan ekonomi yang mengacu pada pertumbuhan (growth) dan pemerataan (equity) belum menunjukkan hasil yang memuaskan.

Namun demikian, para ekonom sependapat bahwa pembangunan merupakan suatu proses, yakni proses untuk mencapai kemajuan. Proses membutuhkan input sumber daya untuk ditransformasikan menjadi sebuah hasil. Jika input tidak memadai, tentu akan menghasilkan output yang tidak optimal. Menurut Siagian (1994), pembangunan sesungguhnya suatu usaha atau rangkaian usaha pertumbuhan dan perubahan berencana dan dilakukan secara sadar oleh bangsa, negara dan pemerintah menuju modernitas dalam rangka pembinaan bangsa (nation building). Secara umum, pembangunan dapat diartikan pula sebagai suatu upaya terkoordinasi untuk menciptakan alternatif yang lebih banyak secara sah kepada setiap warga negara untuk memenuhi dan mencapai aspirasinya yang paling manusiawi.

Dengan definisi pembangunan tersebut, pembangunan sejatinya merupakan pencerminan kehendak dan partisipasi rakyat untuk terus-menerus meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat (Indonesia) secara adil dan merata serta mengembangkan kehidupan masyarakat dan penyelenggaraan negara yang maju dan demokratis. Semua itu bisa terlaksana dengan baik jika ada perencanaan, koordinasi, partisipasi publik, kelembagaan, dan sistem hukum yang baik yang menjamin peningkatan kesejahteraan rakyat secara keseluruhan.

Berbagai perspektif pembangunan tersebut merujuk kepada gelombang besar terminologi: minimalisasi peran pemerintah dan maksimalisasi peran swasta, seperti tulisan Osborne-Gaebler-Plastrik dalam Reinventing Government (1993) dan Banishing Bereaucracy (1997) hingga Amartya Sen dalam Development as Freedom (2000). Gelombang privatisasi pembangunan tersebut muncul seiring pendekatan good governance, pemberdayaan, gerakan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), pendekatan partisipatoris hingga masyarakat madani (Harun, 2007: 15-16)

Melihat elemen-elemen pembangunan tersebut, maka sebenarnya pembangunan mencakup jauh lebih banyak aspek. Bahwa pembangunan menuntut pendapatan per kapita yang lebih tinggi adalah fakta yang tidak bisa dibantah. Namun, pembangunan yang mereduksi nilai-nilai dasar kemanusiaan dan menempatkan pertumbuhan ekonomi sebagai satu-satunya indikator pembangunan justru mereduksi makna pembangunan itu sendiri.

Dalam kaitan itu, konsep pembangunan yang diintroduksi Amartya Sen dalam Development as Freedom (2000) telah membantah pandangan tersebut. Dalam studinya, Sen merumuskan kembali pengertian yang menyeluruh tentang pembangunan. Dalam dataran ini, Sen merumuskan pengertian kembali kemiskinan. Dalam pandangannya, berbagai kondisi, selain kekurangan pangan, seperti kurangnya nutrisi, buta huruf, tiadanya kebebasan sipil dan hak-hak berdemokrasi, diskriminasi, pengidapan penyakit, dan berbagai bentuk perampasan hak-hak milik (entitlement) pribadi adalah bentuk-bentuk kemiskinan yang menciptakan penderitaan. Di sini lah Sen merumuskan definisi baru pembangunan sebagai kebebasan (development as freedom) (Rahardjo dalam Sen, 2001: xiv-xv).

Argumentasi Sen tersebut bukan tanpa alasan. Sebab, kendati sebagian orang berhasil menikmati kemakmuran, namun kualitas hidup masih tetap jauh dari jangkauan banyak orang. Kendati hampir selama dua dasawarsa pertumbuhan ekonomi yang pesat terjadi di sejumlah negara, namun banyak orang lain tidak mendapatkan keuntungan dari kemajuan tersebut. Dalam banyak situasi, kebijakan pembangunan ternyata lebih menguntungkan vested interest kaum elite, sehingga dengan demikian tidak mempromosikan investasi yang memadai dalam modal manusia dan modal alam, yang sangat esensial bagi pertumbuhan berbasis luas. Kualitas faktor-faktor yang memberikan kontribusi bagi pertumbuhan menuntut perhatian fundamental apabila kemiskinan ingin dikurangi dan kualitas hidup yang lebih baik dapat dicapai oleh semua orang (Thomas, et.al., 2001: xvi).

Untuk alasan tersebut, perhatian Sen terletak pada pentingnya redistribusi aset non-fisik, seperti kesehatan dan pendidikan. Oleh sebab itu, masalah paling besar dalam soal redistribusi aset adalah bagaimana meluaskan dan memperbaiki akses pendidikan bagi mayoritas penduduk yang kurang mampu. Redistribusi aset non-fisik inilah yang masih menjadi pertanyaan mendasar dalam proses pembangunan di Indonesia. Para ekonom masih berkutat soal redistribusi aset fisik (Basri, dalam Wie, 2004: xvii)

Definisi Pembangunan

Istilah pembangunan seringkali digunakan dalam hal yang sama dengan pengembangan. Sehingga istilah pembangunan dan pengembangan (development) dapat saling dipertukarkan. Namun berbagai kalangan di Indonesia cenderung menggunakan secara khusus istilah pengembangan untuk beberapa hal yang spesifik. Meski demikian, sebenarnya secara umum kedua istilah tersebut diartikan secara tidak berbeda untuk proses-proses yang selama ini secara universal dimaksudkan sebagai pembangunan atau development (Rustiadi, 2006: vii-1).

Ada yang berpendapat bahwa kata “pengembangan” lebih menekankan proses meningkatkan dan memperluas. Dalam pengertian bahwa pengembangan adalah melakukan sesuatu yang tidak dari “nol”, atau tidak membuat sesuatu yang sebelumnya tidak ada, melainkan melakukan sesuatu yang sebenarnya sudah ada tapi kualitas dan kuantitasnya ditingkatkan atau diperluas (Rustiadi, 2006: vii-1).

Sumitro (1994) mendefinisikan pembangunan sebagai “suatu transformasi dalam arti perubahan struktur ekonomi. Perubahan struktur ekonomi diartikan sebagai perubahan dalam struktur ekonomi masyarakat yang meliputi perubahan pada perimbangan keadaan yang melekat pada landasan kegiatan ekonomi dan bentuk susunan ekonomi. Menurut penulis, pemahaman Sumitro ini terkait dengan pandangan Arthur Lewis (1954) tentang pentingnya transformasi struktur ekonomi pertanian ke struktur ekonomi industri dalam upaya menuju pertumbuhan (dalam aspek ini pengertian pertumbuhan asosiatif dengan pembangunan) ekonomi.

Dalam pada itu, Budiman (1995) membagi teori pembangunan ke dalam tiga kategori besar yaitu teori modernisasi, dependensi dan pasca-dependensi. Teori modernisasi menekankan pada faktor manusia dan budayanya yang dinilai sebagai elemen fundamental dalam proses pembangunan.

Kategori ini dipelopori orang-orang seperti (a) Harrod-Domar dengan konsep tabungan dan investasi (saving and investation), (b) Weber dengan tesis etika protestan dan semangat kapitalisme (the protestant ethic and the spirit of capitalism), (c) McClelland dengan kebutuhan berprestasi, (d) Rostow dengan lima tahap pertumbuhan ekonomi (the five stage of economics growth), (e) Inkeles dan Smith dengan konsep manusia modern, serta (f) Hoselitz dengan konsep faktor-faktor non-ekonominya.

Di lain sisi, Kartasasmita (1996) menyatakan, pembangunan adalah “usaha meningkatkan harkat martabat masyarakat yang dalam kondisinya tidak mampu melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan. Membangun masyarakat berarti memampukan atau memandirikan mereka”.

Menurut Tjokrowinoto (1997), batasan pembangunan yang nampaknya bebas dari kaitan tata nilai tersebut dalam realitasnya menimbulkan interpretasi-interpretasi yang seringkali secara diametrik bertentangan satu sama lain sehingga mudah menimbulkan kesan bahwa realitas pembangunan pada hakikatnya merupakan self project reality.

Secara filosofis, suatu proses pembangunan dapat diartikan sebagai “upaya yang sistematik dan berkesinambungan untuk menciptakan keadaan yang dapat menyediakan berbagai alternatif yang sah bagi pencapaian aspirasi setiap warga yang paling humanistik” (Rustiadi, 2006: vii-1). Di lain sisi, UNDP mendefinisikan pembangunan dan khususnya pembangunan manusia sebagai “suatu proses untuk memperluas pilihan-pilihan bagi penduduk (a process of enlarging people’s choices) (dalam Rustiadi, 2006: vii-1). Dalam konsep tersebut, penduduk ditempatkan sebagai tujuan akhir (the ultimate end), bukan alat, cara atau instrumen pembangunan sebagaimana dilihat oleh model formasi modal manusia (human capital formation) sedangkan upaya pembangunan dipandang sebagai sarana untuk mencapai tujuan itu.

Menurut Todaro (2003: 28) pembangunan merupakan suatu kenyataan fisik sekaligus tekad suatu masyarakat untuk berupaya sekeras mungkin – melalui serangkaian kombinasi proses sosial, ekonomi, dan institusional – demi mencapai kehidupan yang serba lebih baik. Karena itu, proses pembangunan di semua masyarakat paling tidak harus memiliki tiga tujuan inti, yaitu: pertama, peningkatan ketersediaan serta perluasan distribusi berbagai macam barang kebutuhan hidup yang pokok seperti pangan, sandang, papan, kesehatan dan perlindungan keamanan. Kedua, peningkatan standar hidup yang tidak hanya berupa peningkatan pendapatan, tetapi juga meliputi penambahan penyediaan lapangan kerja, perbaikan kualitas pendidikan, serta peningkatan perhatian atas nilai-nilai kultural dan kemanusiaan yang kesemuanya itu tidak hanya untuk memperbaiki kesejahteraan materiil, melainkan juga menumbuhkan harga diri pada pribadi dan bangsa yang bersangkutan. Ketiga, perluasan pilihan-pilihan ekonomis dan sosial bagi setiap individu serta bangsa secara keseluruhan.

Pandangan Todaro merupakan pengembangan pemahaman atas pandangan Sen tentang pembangunan. Sen memaknai pembangunan sebagai kebebasan. Pembahasan pandangan pembangunan sebagai kebebasan Sen dibahas dalam sub bab di bawah ini.

Di Indonesia, istilah pembangunan sudah sejak lama menjadi terminologi sehari-hari. Terminologi yang erat kaitannya dengan pembangunan dikenal konsep Delapan Jalur Pemerataan yang merupakan penjabaran dari Trilogi Pembangunan. Delapan jalur pemerataan yang dimaksud adalah pemerataan dalam hal: (1) pemenuhan kebutuhan pokok rakyat banyak, berupa pangan, sandang dan perumahan; (2) kesempatan memperoleh pendidikan dan pelayanan kesehatan; (3) pembagian pendapatan; (4) kesempatan kerja; (5) kesempatan berusaha; (6) kesempatan berpartisipasi dalam pembangunan, khususnya bagi generasi muda dan kaum wanita; (7) penyebaran pembangunan; dan (8) kesempatan memperoleh keadilan (Syahyuti, 2006: 166-167).

Mengacu pada berbagai definisi pembangunan di atas, maka para ekonom merumuskan ukuran-ukuran keberhasilan pembangunan. Dudleey Seer dalam Todaro (2003) merumuskan ukuran-ukuran keberhasilan pembangunan sebagai berikut: a) Tingkat ketimpangan pendapatan; b) Penurunan jumlah kemiskinan; c) Penurunan tingkat pengangguran.

Ketiga ukuran keberhasilan di atas jika disimak lebih dalam adalah menuju satu sasaran akhir yaitu meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Meningkatnya kesejahteraan masyarakat berarti menurunnya kemiskinan (Amir, 2007: 147).

Selain itu, PBB juga telah merumuskan indikator pembangunan ekonomi, khususnya pembangunan manusia dan kemiskinan. Rumusan indikator pembangunan itu disebut sebagai Millenium Development Goals (MDGs), yang terdiri dari delapan indikator capaian pembangunan, yakni: (a) penghapusan kemiskinan; (b) pendidikan untuk semua; (c) persamaan gender; (d) perlawanan terhadap penyakit menular; (d) penurunan angka kematian anak; (e) peningkatan kesehatan ibu; (f) pelestarian lingkungan hidup; (g) kerjasama global (www.undp.or.id)

Konsep Kapabilitas Berfungsi Amartya Sen

Sen mendefinisikan “kapabilitas” sebagai “kebebasan yang dimiliki seseorang dalam arti pilihan functioning, dengan fitur-fitur personal yang dimilikinya (perubahan karakteristik menjadi functioning), dan kontrol yang dimilikinya terhadap komoditi…” (Todaro, 2003: 24).

Seperti dalam mikro ekonomi dasar, penghasilan hanya akan memiliki makna jika penghasilan tersebut dapat meningkatkan utilitas, dan utilitas itu sendiri penting karena menunjukkan kapabilitas seseorang. Dan tentu saja, kapabilitas sebagian ditentukan oleh pendapatan (Todaro, 2003: 24).

Perspektif yang ditawarkan Sen membantu memperjelas mengapa para ahli ekonomi pembangunan telah menempatkan penekanan yang begitu jelas terhadap kesehatan dan pendidikan, dan menyebut negara-negara yang memiliki tingkat pendapatan yang tinggi tetapi memiliki standar kesehatan dan pendidikan yang rendah sebagai kasus “pertumbuhan tanpa pembangunan”. Pendapatan riil memang sangat penting, tetapi untuk mengkoversikan karakteristik komoditi menjadi fungsi yang sesuai, dalam banyak hal yang penting, jelas membutuhkan kesehatan dan pendidikan selain pendapatan. (Todaro, 2003: 25)

Menurut Wie (2004: 9), perspektif kemampuan (kapabilitas) Sen dalam batas tertentu merujuk pada pendekatan pembangunan ekonomi-sosial terpadu sebagaimana dibahas oleh Adam Smith dalam The Wealth of Nations dan The Theory of Moral Sentiments. Dalam menganalisis kemungkinan-kemungkinan produksi, Smith memang menekankan pentingnya peranan pendidikan maupun pembagian kerja, belajar dengan bekerja dan pengasahan keterampilan.

Dengan kata lain, lanjut Wie (2004: 9), yang diperhatikan adalah cara agar manusia menjadi lebih produktif sepanjang waktu sehingga memberikan sumbangan yang besar bagi pertumbuhan ekonomi. Perspektif ini memfokuskan perhatian kepada kemampuan atau kebebasan substantif semua orang untuk menempuh kehidupan yang menjadi idaman dan meningkatkan pilihan-pilihan riil yang ada.

Konsep Kapabilitas Berfungsi mencakup tiga aspek kunci (Sen, 2000), yaitu:

a. Kecukupan, yang meliputi kecukupan atas kebutuhan-kebutuhan dasar.

b. Harga diri, yang mencakup dorongan dari diri sendiri untuk maju, menghargai diri sendiri, jati diri sebagai negara dan masyarakat timur dan lain sebagainya.

c. Kebebasan dari sikap menghamba. Komponen kebebasan manusia melingkupi segenap komponen antara lain: kebebasan politik, keamanan diri pribadi, kepastian hukum, kemerdekaan berekspresi, partisipasi politik dan pemerataan kesempatan serta pembangunan anti bias perempuan.

“Kebebasan politik” memang menjadi perhatian penting Sen. Namun demikian, ia bukanlah satu-satunya kebebasan instrumental. Kebebasan instrumental lain mencakup “fasilitas ekonomi” (peluang untuk memanfaatkan berbagai sumber ekonomi dengan tujuan konsumsi, produksi dan akses kepada uang), peluang sosial (program pendidikan dan kesehatan, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun masyarakat, yang menjadikan seseorang memiliki kebebasan substantif agar dapat hidup lebih baik, “jaminan transparansi” (berkenaan dengan kebutuhan akan keterbukaan, termasuk hak mengungkapkan fakta guna mencegah terjadinya korupsi, kolusi dan nepotisme), dan “jaminan perlindungan” (memberikan jaringan pengaman sosial kepada orang-orang yang menanggung kemiskinan bukan karena kesalahan sendiri, misalnya akibat krisis ekonomi).

Pembangunan Ekonomi di Indonesia: Di Jalur Yang Benar?

Bagian ini akan mendeskripsikan potret pembangunan Indonesia perspektif Konsep Kapabilitas Berfungsi Amartya Sen. Data-data di bawah ini menggunakan sepenuhnya menggunakan data-data yang dipublikasi oleh BPS, UNDP dan beberapa lembaga lainnya. Data-data yang tersedia hanya sampai pada tahun 2006. Berikut ini gambaran masing-masing aspek-aspek

Data BPS menunjukkan, persentase pengeluaran rumah tangga (RT) untuk makanan pada 2004 mencapai 54,59 persen menurun menjadi 51,37 persen pada 2005 dan naik lagi menjadi 53,01 persen pada 2006. Pengeluaran ini untuk makanan ini erat kaitannya dengan distribusi pendapatan masyarakat. Seiring dengan itu, 40 persen populasi berpendapatan rendah juga fluktuatif pada tahun 2004, 2005 dan 2006, yang masing-masing 20,80 persen, 18,81 persen dan 19,75 persen.

Sementara pengeluaran RT untuk non-makanan pada 2004, 2005 dan 2006 masing-masing 45,42 persen, 48,63 persen, dan 46,99. Data ini menunjukkan bahwa pengeluaran konsumsi RT di Indonesia lebih besar dibandingkan pengeluaran non-makanan. Data ini mencirikan bahwa Indonesia memang masih negara sedang berkembang, dimana pengeluaran makanan (autonomous consumtion) lebih besar dibanding dengan pengeluaran non-makanan (liburan, dll).

Oleh karena itu, tantangan memenuhi kebutuhan dasar, khususnya kebutuhan makanan dihadapkan pada masalah dan tantangan sebagai berikut.

1. Menjaga kegiatan ekonomi nasional yang pro rakyat agar dapat mendorong turunnya angka kemiskinan. Termasuk di dalamnya ialah menjaga kondisi ekonomi makro agar dapat mendorong kegiatan ekonomi riil yang berpihak pada penanggulangan kemiskinan. Upaya menjaga inflasi agar tidak menurunkan daya beli masyarakat miskin, termasuk menjaga harga kebutuhan pokok utama seperti beras, menjadi tantangan serius yang harus dihadapi.

2. Meningkatkan akses masyarakat miskin terhadap pelayanan dasar seperti pendidikan, kesehatan, dan gizi; termasuk keluarga berencana, serta akses terhadap infrastruktur dasar seperti sanitasi dan air bersih. Ini merupakan tantangan yang tidak ringan, mengingat secara geografis Indonesia merupakan negara yang sangat luas.

3. Melibatkan masyarakat miskin untuk dapat meningkatkan kapasitasnya sendiri dalam menanggulangi kemiskinan. Pengalaman menunjukkan bahwa melibatkan serta meningkatkan kapasitas mereka sebagai penggerak dalam penanggulangan kemiskinan terbukti sangat efektif.

4. Belum berkembangnya sistem perlindungan sosial, baik yang berbentuk bantuan sosial bagi mereka yang rentan maupun sistem jaminan sosial berbasis asuransi terutama bagi masyarakat miskin.

5. Adanya kesenjangan yang mencolok antar berbagai daerah (inter-regional disparity). Kesenjangan tersebut dapat dilihat dari tingkat kedalaman kemiskinan yang sangat berbeda antardaerah satu dengan lainnya. Ditinjau dari proporsinya, tingkat kemiskinan di provinsi-provinsi di luar Jawa lebih tinggi dibandingkan dengan proporsi tingkat kemiskinan di Jawa. Selain itu kesenjangan dapat dilihat pula dari perbedaan angka indeks pembangunan manusia yang mencolok antardaerah, termasuk antar perkotaan dan perdesaan.

Kesenjangan ini dibuktikan oleh data BPS 2004, 2005 dan 2006. 40 persen populasi ternyata hanya menikmati 20,80 persen, 18,81 persen dan 19,75 persen pendapatan. Tidak sebanding dengan 20 persen penduduk kaya yang bisa menikmati pendapatan 42,07 persen (2004), 44,78 persen (2005), dan 42,15 persen (2006). Itu sebabnya Gini Ratio Indonesia masih bertengger di angka 0,32 (2004), 0,36 (2005) dan 0,33 (2006).

Kebutuhan dasar lain yang penting menurut Sen, yang kemudian diadopsi oleh UNDP sebagai Indeks Pembangunan Manusia (HDI) adalah pendidikan dan kesehatan. Tiga indikator yang terdapat dalam HDI ini, selain pendidikan dan kesehatan adalah kekuatan daya beli (purchasing power parity/PPP) masyarakat.

Khusus untuk pendidikan dan kesehatan, Laporan MDGs 2007 menunjukkan walaupun angka partisipasi kasar tingkat SD/MI maupun SMP/MTs menunjukkan perbaikan, tetapi bila dilihat dari tingkat kelompok pengeluaran rumah tangga, maka terdapat perbedaan antara kelompok rumah tangga miskin dan non-miskin. Pada kelompok pengeluaran terbawah (kuantil 20% terbawah, Q1), APK SD/MI tahun 1995 adalah 104,88 persen dan mencapai 108,92 persen pada tahun 2006. Data tahun 1995 hingga 2006 menunjukkan indikasi bahwasanya APK SD/MI untuk kelompok pengeluaran terbawah ternyata berkembang lebih baik dari APK SD/MI untuk golongan pengeluaran teratas. Peristiwa yang sama juga terjadi pada APK SMP/MTs antara tahun 1995 hingga 2006. APK SMP/MTs tahun 1995 pada kelompok pengeluaran terbawah tercatat 44,39 persen dan menjadi 70,78 persen pada tahun 2006.

Dari uraian di atas terlihat bahwa perbaikan kesejahteraan rumah tangga berpengaruh pada akses terhadap pendidikan, terutama bagi keluarga yang mempunyai anak usia sekolah SD dan SMP. Kesenjangan partisipasi pendidikan yang sangat mencolok antara kelompok pengeluaran terbawah (keluarga miskin) dan kelompok pengeluaran teratas (keluarga kaya) ini menunjukkan perlunya peningkatan perhatian pada kelompok keluarga miskin dalam memperoleh akses pendidikan. Hal ini sejalan dengan hasil studi Balitbang Depdiknas pada 2006 yang menemukan bahwa faktor ketiadaan biaya masih dijumpai sebagai alasan penduduk usia sekolah tidak melanjutkan pendidikan mereka (www.depdiknas.go.id).

Dari sisi kesehatan, Angka Kematian Bayi (AKB) menurut proyeksi BPS (BPS-UNDP-Bappenas, 2005), pada tahun 2003 angka AKB terus membaik hingga mencapai 33,9 per 1.000 kelahiran hidup. Meskipun terus menurun, AKB di Indonesia masih tergolong tinggi jika dibandingkan dengan negara-negara anggota ASEAN, yaitu 4,6 kali lebih tinggi dari Malaysia, 1,3 kali lebih tinggi dari Filipina, dan 1,8 kali lebih tinggi dari Thailand. Indonesia menduduki ranking ke-6 tertinggi setelah Singapura (3 per 1.000), Brunei Darussalam (8 per 1.000), Malaysia (10 per 1.000), Vietnam (18 per 1.000), dan Thailand (20 per 1.000).

Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia telah mengalami penurunan menjadi 307 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2002-2003 bila dibandingkan dengan angka tahun 1994 yang mencapai 390 kematian per 100.000 kelahiran hidup. Tetapi akibat komplikasi kehamilan atau persalinan yang belum sepenuhnya dapat ditangani, masih terdapat 20.000 ibu yang meninggal setiap tahunnya. Dengan kondisi ini, pencapaian target MDGs untuk AKI akan sulit dicapai. BPS memproyeksikan bahwa pencapaian AKI baru mencapai angka 163 kematian ibu melahirkan per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2015, sedangkan target MDG pada tahun 2015 tersebut adalah 102.

Di sisi yang lain Ancaman penularan HIV dan epidemi AIDS telah terlihat melalui data infeksi HIV yang terus meningkat, khususnya di kalangan kelompok perilaku beresiko. Pada tahun 2006, diperkirakan terdapat 169.000-216.000 orang yang terinfeksi HIV. Ahli epidemiologi Indonesia memproyeksikan bila tidak ada peningkatan upaya penanggulangan yang berarti, maka pada tahun 2010 jumlah kasus AIDS akan menjadi 400.000 orang dengan kematian 100.000 orang dan pada 2015 menjadi 1.000.000 orang dengan kematian 350.000 orang. Kebanyakan penularan terjadi pada sub populasi berisiko kepada isteri atau pasangannya. Pada akhir tahun 2015 diperkirakan akan terjadi penularan HIV secara kumulatif pada lebih dari 38.500 anak yang dilahirkan dari ibu yang HIV positif. Hal ini menunjukkan bahwa HIV dan AIDS telah menjadi ancaman sangat serius bagi Indonesia.

Aspek kebebasan yang dilihat partisipasi politik dan pemerataan kesempatan memperoleh informasi terpampang pada ilustrasi berikut ini. Akses terhadap informasi dapat dilihat dari 3 indikator di atas. Persentase penduduk 10 tahun ke atas yang mendengar radio hanya mencapai 40,26 persen pada 2006, menurun dibandingkan 2003 yang mencapai 50,29 persen. Sejalan dengan hal tersebut, masyarakat yang bisa menikmati/menonton televisi mencapai 85,86 persen meningkat dibandingkan tahun 2003 yang hanya mencapai 84,94 persen. Hal ini sejalan dengan peningkatan pemanfaatan listrik rumah tangga yang mencapai 87,76 persen pada 2006.

Dari sisi partisipasi politik (pemilihan gubernur dan wakil gubernur), catatan Jaringan Pemantau Pemilu untuk Rakyat (JPPR) menunjukkan, dari tahun 2005, 2006, 2007 dan 2008 hanya mencapai rentang 60-70 persen, dengan prosentase sebesar 41 persen. Sementara untuk pemilihan bupati dan walikota di 165 kabupaten/kota pada tahun yang sama mencapai 44 persen dengan tingkat partisipasi sebesar 70-80 persen.

Data ini menunjukkan, bahwa tingkat partisipasi politik masih relatif rendah, tidak sampai 50 persen. Kerendahan tingkat partisipasi politik ini disinyalir berkaitan erat dengan beberapa faktor politik, diantaranya kedewasaan berdemokrasi, sistem politik yang belum bisa mendorong masyarakat untuk terlibat secara aktif dalam proses politik, kepastian hukum, korupsi yang dilakukan oleh politikus dan lain sebagainya.

Kesimpulan

Dimensi permasalahan pembangunan di Indonesia, khususnya yang terkait dengan ketiga aspek kunci dari Konsep Kapabilitas Berfungsi Amartya Sen itu mengharuskan adanya kebijakan menyeluruh serta terukur pencapaiannya. Mengatasi masalah ketiga aspek tersebut akhirnya tidak hanya soal mempercepat pengurangan jumlah penduduk miskin, melainkan lebih penting adalah bagaimana meningkatkan kesejahteraan penduduk miskin. Ketiga aspek tersebut dapat dilakukan secara menyeluruh, menyangkut multi-sektor, multi-pelaku, dan multi-waktu.

1. Mendorong pertumbuhan yang berkualitas. Dua aspek penting berkaitan dengan hal ini adalah menjaga stabilitas ekonomi makro dan mendorong kegiatan ekonomi agar berpihak kepada penanggulangan kemiskinan. Langkah yang perlu diambil antara lain dengan menjaga tingkat inflasi, termasuk menjaga stabilitas harga bahan kebutuhan pokok seperti beras. Selain itu, diperlukan upaya untuk mendorong penciptaan kesempatan kerja dan berusaha yang lebih luas agar mampu menjangkau masyarakat miskin. Dalam hal ini, revitalisasi pertanian serta usaha mikro, kecil dan menengah—tempat sebagian besar masyarakat menggantungkan hidupnya—perlu terus didorong dan dikembangkan.

2. Meningkatkan akses masyarakat miskin terhadap pendidikan, kesehatan dan gizi termasuk pelayanan keluarga berencana, serta infrastruktur dasar seperti air bersih dan sanitasi. Peningkatan akses masyarakat miskin terhadap pendidikan dapat dilakukan melalui pemberian beasiswa. Sementara itu, akses terhadap pelayanan kesehatan dapat dilakukan melalui perbaikan infrastruktur kesehatan dan pemberian pelayanan gratis bagi masyarakat miskin, termasuk pelayanan rumah sakit kelas tiga.

3. Menyempurnakan serta memperluas cakupan perlindungan sosial, terutama bagi mereka yang rentan. Pemerintah —selain terus meningkatkan kemampuannya menjangkau bantuan sosial bagi mereka yang rentan seperti kaum cacat, lanjut usia, dan anak terlantar— juga meluncurkan Program Keluarga Harapan (PKH) sebagai bagian dari upaya membangun sistem perlindungan sosial. Karena itu, kegiatan perlu terus didorong, dimonitoring dan dievaluasi tingkat keberhasilannya.

4. Pemberdayaan politik masyarakat, melalui media sosialisasi yang cerdas, tindak membodohi, tidak memanipulasi dan menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi. Karena itulah, diperlukan kepastian hukum yang mengatur proses pelaksanaan demokrasi (pemilu), sekaligus melindungi para penyelenggara, kandidat, pemilih, pemantau dan warga negara pada umumnya dari ketakutan, intimidasi, kekerasan, penyuapan, penipuan dan berbagai praktik curang lainnya yang mempengaruhi hasil pemilu.

DAFTAR PUSTAKA

Amartya Sen, 1999, Development as Freedom, New York: Alfred Knof

————-, 2001, Masih Adakah Harapan Bagi Kaum Miskin (terj. On Ethics and Economics), Penerbit Mizan, Jakarta

Amri Amir, 2007, Perekonomian Indonesia (Dalam Perspektif Makro), Biografika, Bogor

Arif Budiman, 1995, Teori-Teori Pembangunan Dunia Ketiga, Gramedia, Jakarta

Dawan Rahardjo, Ekonom Dari Shantiniketan, pengantar dalam Amartya Sen, 2001, Masih Adakah Harapan Bagi Kaum Miskin (terj. On Ethics and Economics), Penerbit Mizan, Jakarta

David Osborne & Gaebler Ted, 1995, Mewirausahakan Birokrasi (Reinventing Government): Mentransformasi Semangat Wirausaha ke Dalam Sektor Publik, Pustaka Binaman Pressindo, Jakarta

Ernan Rustiadi, et., al., 2006, Perencanaan dan Pengembangan Wilayah, edisi Mei 2006, Fakultas Pertanian, IPB, Bogor

Gerald M. Meier & James E. Rauch, 2000, Leading Issues in Economic Development, 7th edition, Oxford University Press

Ginandjar Kartasasmita, 1996, Pembangunan Untuk Rakyat, Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan, CIDES, Jakarta

M. Chatib Basri, sekapur sirih dalam Thee Kian Wie, 2004, Pembangunan, Kebebasan dan ”Mukjizat Orde Baru (esai-esai), Penerbit Buku Kompas, Jakarta

Michael P. Todaro & Stephen C. Smith, 2003, Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga, edisi kedelapan, Erlangga, Jakarta

Moeljarto Tjokrowinoto, 1997, Politik Pembangunan, Sebuah Analisis Konsep, Arah dan Strategi, Penerbit Tirai Wacana, Yogyakarta

Andi Harun, 2007, Mozaik Pembangunan Kalimantan Timur Dalam Berbagai Prisma, Cidesindo, Jakarta

Piet H. Khaidir, Kemandirian dan Partisipasi Masyarakat Dalam Kehidupan Bernegara di Indonesia, dalam Imam Subkhan, (ed), 2003, Siasat Gerakan Kota, Labda, Yogyakarta

Sumitro Djojohadikusumo, 1994, Perkembangan Pemikiran Ekonomi Dasar Teori Ekonomi Pertumbuhan dan Ekonomi Pembangunan, Pustaka LP3ES, Jakarta

Thee Kian Wie, 2004, Pembangunan, Kebebasan dan ”Mukjizat Orde Baru (esai-esai), Penerbit Buku Kompas, Jakarta

UNDP dan Bappenas, 2007, Laporan Pencapaian Millenium Development Goals Indonesia 2007, Jakarta

Syahyuti, 2006, 30 Konsep Penting Dalam Pembangunan Pedesaan dan Pertanian, PT. Bina Rena Pariwara, Jakarta

Vinod Thomas, et.al., 2001, The Quality of Growth (Kualitas Pertumbuhan), PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta

Situs Internet

www.bps.go.id

www.bappenas.go.id

http://www.depdiknas.go.id

www.jppr.or.id

www.undp.org

* Mahasiswa Magister Sains Sekolah Pascasarjana IPB, konsentrasi Ekonomi Politik.

** Mahasiswa Magister Sains Ilmu-Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan (PWD) konsentrasi Ekonomi Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan, Program Multidisiplin, Sekolah Pascasarjana IPB.

Utang Luar Negeri dan Strategi Ke Depan*

Oleh: Sutia Budi**

Permasalahan utang luar negeri Indonesia bukanlah masalah sederhana, hal itu merupakan masalah serius bangsa Indonesia. Bahkan ketegangan politik dan sosial sejak beberapa tahun terakhir, sangat terkait dengan persoalan ini. Penguasa pembuat dosa di masa lalu seakan lepas tangan dengan mewariskan utang kepada rakyat yang sulit dilunasi dalam waktu yang cepat. Diperlukan puluhan tahun untuk menyelesaikan hutang tersebut, dan itu pun jika pemerintah tidak menciptakan utang baru.

Hutang luar negeri adalah derita rakyat. Pembayaran utang luar negeri pemerintah memakan porsi anggaran negara (APBN) yang terbesar dalam satu dekade terakhir. Jumlah pembayaran pokok dan bunga utang hampir dua kali lipat anggaran pembangunan, dan memakan  lebih dari separuh penerimaan pajak dari rakyat. Pembayaran cicilan utang sudah mengambil porsi 52% dari  total penerimaan pajak yang dibayarkan rakyat sebesar Rp 219,4 trilyun (www.walhi.or.id).  Rakyatlah pada kenyataanya yang menanggung beban utang tersebut.  Sementara, alokasi untuk pendidikan dan kesehatan selalu jauh lebih kecil dibanding pembayaran bunga utang dalam negeri.

Di masa mendatang beban pembayaran utang semakin membesar oleh karena telah jatuh tempo penjadwalan ulang utang Paris Club I, II dan III. Pembayaran utang dalam negeri juga membesar sementara kemampuan pemerintah membayar utang-utangnya cenderung menurun, karena pemerintah mengandalkan penjadwalan ulang terus menerus. Gambaran tersebut tampaknya akan terus dirasakan Indonesia hingga beberapa tahun mendatang.  Ketimpangan distribusi anggaran sosial dalam APBN akan terus dialami Indonesia hingga 15 tahun ke depan. Kesalahan manajemen utang pada masa sekarang membuat dua generasi bangsa Indonesia harus menanggungnya.

Dengan beban rasio pembayaran cicilan utang (ratio debt service) yang tinggi, APBN tidak lagi optimal sebagai pemicu pertumbuhan ekonomi. Bahkan, tingkat penyedotan dana yang besar dari masyarakat, baik melalui kenaikan pajak maupun pengurangan subsidi, justru menghambat potensi pertumbuhan ekonomi.

JERATAN UTANG

Negara-negara Amerika Latin, yang dianggap sebagai model kelompok negara yang terjebak utang (“debt trap”), hanya mempunyai rasio utang terhadap PDB antara 30-40 persen. Angka ini sudah dianggap gawat dan pemerintah di negara-negara ini sudah merasa perlu melakukan langkah-langkah politik terhadap anggarannya. Indikator utang Indonesia pasca krisis lebih buruk dari kelompok negara Amerika Latin tersebut. Negeri ini memiliki sudah rasio utang terhadap PDB sampai 130 persen. Tetapi pemerintah dan Tim Ekonominya, Menteri Keuangan sangat merasa biasa dan tidak perlu usul pemotongan utang (“haircut”) atau langkah-langkah lain, yang dapat meringankan rakyat. Seolah-olah tidak ada apa-apa dan kebijakan utang dijalankan seperti masa normal. Pembayaran utang apa adanya diajukan ke DPR dengan konsekwensi menguras anggaran dengan jumlah pengeluaran yang begitu besar. Utang luar negeri ini dilakukan dengan mengaitkan dimensi utang yang sudah menjadi jebakan (debt trap”) dalam kaitannya dengan anggaran publik dan ekonomi rakyat yang lebih luas. Utang yang besar telah menjadi beban anggaran, yang pada gilirannya menjadi beban publik, termasuk di dalamnya adalah ekonomi rakyat (Rachbini, 2002).

Indonesia perlu waktu puluhan tahun untuk melunasi  utang luar negeri pemerintahnya.  Saat ini tingkat utang luar negeri sekitar US$ 67 milyar, atau kurang lebih Rp 600 trilyun. Kemampuan pemerintah membayar cicilan utang luar negeri antara Rp 15-20 triliun per tahun. Dengan asumsi bahwa pemerintah tidak wajib membayar bunga dan tidak menambah utang baru, diperlukan 30-40 tahun lagi agar seluruh utang tersebut lunas. (Wibowo, 2003).

Dengan beban pembayaran utang luar negeri Pemerintah Indonesia yang demikian tinggi, maka penjadwalan ulang tidak akan menyelesaikan persoalan. Kenyataan ini menunjukkan perlunya solusi yang radikal dan baru dalam menyelesaikan persoalan beban utang luar negeri. Pengurangan jumlah utang (debt stock) merupakan pilihan satu-satunya.  Penghapusan jumlah utang atau debt cancellation, sebagaimana yang didesakkan oleh kelompok organisasi masyarakat sipil di sejumlah negara, patut ditempuh Pemerintah. Hal ini dapat dilakukan melalui pengadilan internasional (arbitrase internasional) dan proses politik di tingkat internasional bersama dengan negara-negara berkembang lainnya. Adanya “utang haram” (odious debt) pada setiap utang yang kini dibebankan kepada rakyat merupakan dasar hukum dan moral dari tuntutan ini. Utang yang dikorupsi dan merusak yang dibuat oleh rezim otoriter terdahulu dilakukan dengan sepengetahuan kreditor internasional. Kreditor internasional juga harus bertanggung jawab atas utang-utang tersebut dengan cara penghapusan utang.  Pilihan ini harus ditempuh pemerintah dan bukan membebankan kepada rakyat Indonesia seluruhnya.

Bila dicermati, konsepsi utang yang dianut oleh pemerintah Indonesia selama ini cenderung sangat didominasi oleh pandangan ekonom neoliberal. Sesuai dengan pandangan umum yang dianut oleh para pengikut Reagan dan Thatcher tersebut (Goerge, 1999), pembuatan utang pada dasarnya ditujukan untuk mencapai dua hal: Pertama, untuk menutup kesenjangan antara tingkat tabungan masyarakat dengan kebutuhan investasi (saving investment gap). Kedua, khusus untuk utang luar negeri, untuk memanfaatkan suku bunga murah yang ditawarkan oleh berbagai paket pinjaman yang ditawarkan oleh sindikat negara-negara kreditur dan lembaga keuangan multilateral tersebut (Baswir, 2003).

Mencermati kedua tujuan tersebut, terlihat jelas betapa konsepsi utang para ekonom neoliberal tersebut sangat dipengaruhi oleh paradigma pembangunan ekonomi yang mereka anut. Para ekonom neoliberal memandang, pembangunan memang cenderung tumpang tindih dengan pertumbuhan ekonomi, kecenderungan ini sejalan dengan pandangan mereka yang meletakkan pertumbuhan ekonomi di atas pemerataan. Ungkapan populer mereka, “Jika tidak ada pertumbuhan, apa yang mau diratakan?”

Diakui atau tidak, dengan paradigma pembangunan seperti itu ekonom neoliberal sesungguhnya dengan sadar menempatkan investasi dan investor di atas berbagai pertimbangan lainnya. Dalam bahasa sederhana, paradigma pembangunan ekonom neoliberal pada dasarnya bertumpu pada semboyan, “investor first, people second.” Kecenderungan inilah antara lain yang dibahasakan melalui ungkapan “bersahabat dengan pasar” yang sangat populer tersebut. Artinya, keputusan-keputusan ekonomi para ekonom neoliberal, mulai dari menyusun kabinet, memilih orientasi kebijakan, dan merumuskan program, pertama-tama harus dilihat dari sudut pengaruhnya terhadap “kepercayaan” para investor. Setiap keputusan ekonomi yang mendapat respon negatif dari para investor, harus segera dihentikan.

Malangnya, sebagai ekonom sekalipun, para ekonom neoliberal cenderung mengabaikan berbagai variabel lainnya yang wajib untuk dipertimbangkan dalam membuat utang luar negeri. Sehubungan dengan tingkat bunga misalnya, para ekonom neoliberal cenderung pura-pura tidak tahu bahwa beban utang luar negeri tidak hanya terbatas sebesar angsuran pokok dan bunganya. Karena dibuat dalam mata uang asing, tidak dapat tidak, pembuatan utang luar negeri harus memperhatikan pula tingkat depresiasi mata uang nasional dan kemungkinan terjadinya gejolak moneter secara internasional. Dengan kata lain, dalam kondisi stabil, tingkat bunga utang luar negeri mungkin lebih murah daripada tingkat bunga pinjaman domestik. Tetapi jika terjadi gejolak moneter seperti yang dialami Indonesia pada tahun 1998, tingkat bunga efektif utang luar negeri dalam denominasi rupiah justru dapat lebih besar dari pada tingkat bunga domestik.

Revrisond Baswir (2003) mengatakan, para ekonom neoliberal juga cenderung mengabaikan kapasitas kelembagaan yang dimiliki sebuah negara dalam mengelola dan memanfaatkan utang. Padahal, sebagai sebuah keputusan yang akan berdampak pada timbulnya kewajiban untuk membayar pokok dan bunganya, pembuatan utang luar negeri harus disertai dengan perhitungan yang cermat mengenai manfaat yang akan diperoleh dari keputusan tersebut. Intinya, kapasitas mengelola dan memanfaatkan utang harus dapat menjamin meningkatnya kemampuan sebuah negara dalam membayar utang. Tetapi para ekonom neoliberal cenderung memandang kapasitas mengelola dan memanfaatkan utang ini sebagai sesuatu yang tidak perlu mendapat perhatian. Sebab itu, walaupun Indonesia terkenal sebagai negara juara korupsi , tidak aneh bila Hadi Soesastro pernah berucap, “Hanya orang bodohlah yang menolak utang luar negeri”

Kita tidak tahu persis siapa sesungguhnya yang bodoh. Yang pasti, jika ketidakstabilan moneter yang menandai sistem keuangan global dan perilaku korup rezim yang berkuasa diabaikan begitu saja oleh para ekonom neoliberal dalam membuat utang luar negeri, menjadi mudah dimengerti jika sebagian besar ekonom neoliberal tidak mengenal konsepsi utang najis (odious debt). Padahal, konsep yang diperkenalkan oleh Alexander Nahum Sack pada tahun 1927 ini sangat penting, artinya dalam menetukan metode penyelesaian beban utang luar negeri yang dipikul Indonesia (Baswir, 2003).

Sack mengemukakan (sebagaimana dikutip dalam Adams, 1991), “if a despiotic incurs a debt not for the needs or in the interrest of the State, but to strengthen its despotic regime, to repress the population that’s fights againts it, etc., this debt is odious for the population of all the State. This debt is not an obligation for the nation; it is a regime’s debt, a personal debt of the power that has incurred it, consequently it falls with the fall of this power.”

Revrisond mengemukakan bahwa konsep utang najis yang diperkenalkan Sack itu tidak datang dari negeri antah berantah, melainkan dibangun berdasarkan preseden sengketa utang-piutang antar negara yang pernah terjadi jauh sebelum ia memperkenalkan konsep tersebut. Sebagaimana dikemukakan Adams, negara pertama yang menerapkan konsep utang najis itu dalah Amerika Serikat (AS), yaitu ketika negara itu mendukung perjuangan kemerdekaan rakyat Cuba dari penjajahan pemerintah Spanyol tahun 1898. Menyusul beralihnya penguasaan Cuba dari Spanyol ke tangan AS, maka pemerintah Spanyol segera mendeklarasikan bergesernya tanggunggjawab untuk melunasi utang luar negeri Cuba yang dibuat semasa pemerintahan pendudukan Spanyol itu kepada AS. Namun secara tegas AS menolak penggeseran tanggungjawab tersebut. Dalam jawabannya kepada pemerintah Spanyol, AS antara lain mengatakan, “They are debts created by the government of Spain, for its own purposes and through its own agents, in whose creation Cuban had no voice.” Sebab itu, AS berpendapat, utang-utang tersebut tidak dapat diperlakukan sebagai utang penduduk Cuba, (dengan demikian) juga tidak bersifat mengikat bagi pemerintah Cuba berikutnya.

Berkaca dari konsepsi yang diperkenalkan Sack tersebut, dapat disaksikan bahwa sesungguhnya terbuka peluang yang sangat lebar bagi pemerintahan Indonesia pasca Soeharto untuk setidak-tidaknya tidak membayar seluruh utang luar negeri yang dibuat semasa rezim Soeharto. Sebagaimana diketahui, rezim Soeharto yang terguling pada tanggal 21 Mei 1998 itu adalah sebuah rezim yang korup dan otoriter.

Semasa berkuasa, rezim Soeharto dengan rajin menciptakan utang yang sesungguhnya menindas rakyat Indonesia. Rezim yang korup tersebut, menyelewengkan sebagian utang luar negeri dengan memasukan ke kantong para pejabat untuk memperkaya diri mereka sendiri dan para kroninya. Dalam taksiran Bank Dunia (World Bank, 1997), volume utang luar negeri yang diselewengkan rezim Soeharto meliputi sekitar 20 – 30 persen dari total utang luar negeri yang dibuat rezim tersebut.

Dengan demikian, karena sebagian utang luar negeri yang dibuat oleh rezim Soeharto tidak dinikmati oleh rakyat, sesungguhnya tidak ada sedikit pun alasan bagi setiap pemerintahan Indonesia Pasca Soeharto untuk mensosialisasikan dampak beban utang najis tersebut kepada rakyat banyak. Sebaliknya, adalah kewajiban setiap pemerintahan yang memihak kepada rakyat untuk meminta pertanggungjawaban para kreditur atas kesalahan mereka menyalurkan utang-utang itu. Caranya tentu bukan dengan meminta penjadualan ulang (debt reschedulling), melainkan dengan meminta pemotongan utang (debt reduction).

PEMBANGUNAN TANPA UTANG

Bagi bangsa Indonesia, pernyataan kemerdekaan 1945 adalah suatu ”Manifesto Politik”. Dari situ kita bertekad ”berdaulat di dalam kehidupan politik, berdikari di dalam kehidupan ekonomi dan berkepribadian di dalam kehidupan budaya”. Namun, dalam perjalanan sejarah nasional kita, tekad politik sering mengendor atau bahkan dikorbankan (Swasono & Sritua Arief, 1999).

Seperti halnya Indonesia, negara-negara berkembang non-komunis pada umumnya, belum terlepas dari jebakan sejarah masa lampaunya. Mereka masih menyandang ciri-ciri sebagai berikut: (1) Masa lalunya berada dalam kekuasaan kolonialisme dan feodalisme. (2) Setelah mencapai kemerdekaan politis, negara-negara ini kembali berada dalam kekuasaan kolonialisme dan feodalisme dalam bentuk barunya yaitu neocolonialism dan neofeodalism.

Kedua bentuk kolonialisme dan feodalisme baru ini merevitalisasi basic-instinct yang dikandungnya masing-masing, yaitu secara permanen mengidap niat eksploitatif (conquer, control and exploit), dengan cara lebih halus dan canggih. Basic-instinct itu harus kita waspadai dengan baik, demikian pula terhadap Indonesia.

Sri Edi Swasono dan Sritua Arief (1999) mengemukakan bahwa, Penguasaan surplus ekonomi oleh pihak asing dan kompradornya di Indonesia terhadap strata bawah dalam struktur sosial dan konstelasi ekonomi, bukanlah sesuatu yang mengada-ada. ”Kolonialisme baru” yang bertopeng globalisasi dan globalisme dengan turbo-kapitalis asing sebagai aktor utama merupakan suatu kenyataan hidup (a living reality). Ini terjadi melalui proses pengembangan industri, baik industri substitusi impor maupun industri promosi ekspor. Indonesia kembali menjadi tempat yang empuk bagi penghisapan surplus ekonomi oleh pihak asing. Pasar bebas menjadi berhala baru yang secara absurd dianggap sebagai pendekar omniscient dan omnipotent, padahal pasar bebas hanyalah sekadar instrumen ekonomi kaum globalis untuk memanfaatkan kelemahan struktural dalam perekonomian negara-negara berkembang.

Ciri-ciri bentuk sumber dan pemakaian modal asing (investasi asing plus utang luar negeri) ini dapat dinyatakan sebagai berikut (Swasono & Sritua Arief, 1999):

1. Perkiraan berjalan dalam neraca pembayaran (disebabkan posisi yang defisit) jelas tidak memberikan sumbangan terhadap pemupukan cadangan devisa.

2. Akibatnya, cadangan devisa tidak seluruhnya merupakan komponen cadangan yang bebas (free reserve) sehingga terpaksa harus ditambah dengan komponen pinjaman (borrowed reserved) yang bisa menjadi dominan.

3. Oleh karena secara konseptual jumlah total neraca pembayaran haruslah selalu dalam posisi keseimbangan, ini bermakna penambahan cadangan devisa akan berbentuk pinjaman luar negeri. Dan pinjaman luar negeri ini ditimbulkan oleh pelarian modal.

Jumlah utang luar negeri Indonesia tetap terus bertambah dari tahun ke tahun. Indonesia saat ini mengalami situasi apa yang disebut Fisher Paradox dalam hubungannya dengan utang luar negerinya, yaitu situasi semakin banyak cicilan utang luar negeri dilakukan semakin besar akumulasi utang luar negerinya. Ini disebabkan cicilan plus bunga utang luar negeri secara substansial dibiayai oleh utang baru. Oleh karena nilai cicilan plus bunga utang luar negeri lebih besar dari nilai utang baru, maka terjadilah apa yang disebut net transfer sumber-sumber keuangan dari Indonesia ke pihak-pihak kreditor asing. Situasi Fisher Paradox dapat ditunjukkan misalnya dengan membandingkan nilai kumulatif pertambahan utang luar negeri sektor Pemerintah (jangka menengah dan panjang).

Kewaspadaan terhadap utang luar negeri sangat diperlukan seperti yang dikemukakan oleh Krauss (1983) tentang ”Development Without Aid”. Pinjaman luar negeri meningkatkan intervensi-intervensi negara-negara donor maupun negara-negara penerima bantuan, yang merusak prinsip-prinsip ekonomi, dengan mengabaikan keunggulan-keunggulan komparatif di negara-negara penerima bantuan. Lebih lanjut pandangan Krauss ini sejalan dengan banyak pendapat umum bahwa luar negeri tidak terlepas dari ”skenario Barat” untuk mempertahankan negara-negara terbelakang tetap dalam posisi ”status-quo in dependency” (Swasono & Sritua Arief, 1999).

Swasono dan Sritua Arief mengemukakan beberapa butir yang berkaitan dengan utang luar negeri, sebagai berikut: Pertama, utang luar negeri banyak bersifat apa yang disebut project loan, yaitu utang ini adalah dalam bentuk barang dan jasa-jasa dari negara pemberi utang, hal ini mengakibatkan bahwa Indonesia tidak bisa mengetahui nilai sebenarnya dari barang-barang yang diutangkan, demikian juga jasa-jasa yang diberikan. Terjadi suatu perbuatan overpricing atas barang-barang plus jasa-jasa yang diperlukan untuk pinjaman proyek yang dibebankan kepada rakyat Indonesia. Jeffrey Winter memperkirakan 30 persen hingga 33 persen pinjaman proyek dari Bank Dunia merupakan hasil perbuatan yang sengaja meninggikan nilai pinjaman sehingga nilai nominal berada 30 persen hingga 33 persen di atas nilai riilnya.

Kedua, berkaitan dengan komposisi pinjaman. Pinjaman yang diberikan oleh pihak asing, misalnya pinjaman dari Asian Development Bank sebesar US$ 1,5 miliar pada tahun 1998, sebagian besar (yaitu US$ 1,4 miliar) adalah untuk membiayai impor (yaitu barang plus jasa) dan sebanyak US$ 100 juta untuk lainnya. Kondisi yang sama berlaku juga untuk pinjaman dari IMF. Ini bermakna utang yang kita pinjam kembali sebagian besar manfaatnya untuk pihak asing melalui impor yang pada ronde-ronde berikutnya akan memperparah defisit perkiraan berjalan dalan neraca pembayaran.

Ketiga, suatu keadaan di mana makin banyak mencicil utang luar negeri, makin besar akumulasi utang luar negeri yang kita tanggung. Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, ini terjadi oleh karena kita membayar utang lama plus bunganya dengan utang baru. Dan utang baru yang kita terima ini lebih kecil dari utang lama yang dicicil plus bunganya.

Pengertian dialektik hubungan ekonomi antar aktor ekonomi, pemasok utang luar negeri dan investor asing menjadi lebih berkuasa dalam memeras rakyat Indonesia, terutama yang berada di strata bawah dalam masyarakat Indonesia. Jelas ini menunjukkan bahwa Indonesia dan rakyatnya akan kembali menjadi koloni asing. Dan utang luar negeri yang menumpuk telah berubah sifatnya dari perangkap menjadi boomerang yang dapat membuat Indonesia tidak berdaya.

Implikasi kebijaksanaan dari paparan yang dikemukakan di atas adalah, Pertama, pembayaran utang luar negeri pemerintah harus dimintakan untuk diperingan atau dikurangi secara drastis diikuti dengan penjadwalan pembayaran sisanya atau bahkan utang najis tersebut dihapuskan. Kedua, menolak penggunaan dana negara atau dana masyarakat untuk membayar utang-utang perusahaan-perusahaan swasta. Sedangkan untuk mencegah jatuhnya perusahaan-perusahaan swasta ini ke pihak asing, Indonesia sebagai negara berdaulat harus dapat membuat peraturan-peraturan yang restriktif. Ketiga, meninjau kembali sistem pembiayaan pembangunan sehingga ketergantungan kepada pihak asing dapat diminimumkan.

Kondisi di atas harus dilaksanakan atas landasan orientasi kemandirian. Yang dimaksud dengan kemandirian di sini ialah terciptanya situasi di mana suatu negara mempunyai utang luar negeri yang minimum, impor yang minimum dan pendapatan nasional sebagian besar berasal dari aktor-aktor ekonomi dalam negeri dan dialirkan kembali ke dalam negeri.

Daya-beli rakyat di dalam negeri harus menjadi dasar pertumbuhan ekonomi. Ini bermakna bahwa strategi pembangunan pertumbuhan melalui pemerataan atau pertumbuhan dengan pemerataan yang berorientasi ke dalam negeri. Bung Hatta memberikan patokan-patokan bagi utang luar negeri, yaitu bahwa setiap utang luar negeri harus secara langsung dikaitkan dengan semangat self-help dan self-reliance, di samping bunga harus rendah (Swasono & Sritua Arief, 1999).

Maksud dari pembangunan ekonomi tanpa utang adalah pembangunan yang berprinsip kemandirian nasional, tidak harus diartikan secara harfiah utang yang sama sekali nol. Pembangunan tanpa utang lebih merupakan proses perubahan substansial untuk melepaskan keterjebakan utang, dari dependensi menuju self-sufficiency dan independensi.

STRATEGI KEDEPAN: OPTIMALISASI MANAJEMEN UTANG

Drajat Wibowo (2003) mengemukakan bahwa utang luar negeri pemerintah (public foreign debt) menjadi salah satu sumber ancaman bagi stabilitas ekonomi makro kita, baik melalui tekanan defisit fiskal, ketimpangan distribusi sosial dalam APBN maupun tekanan atas cadangan devisa. Sayangnya, manajemen utang Indonesia tetap tidak berubah. Keberhasilan meyakinkan kreditor untuk mengucurkan ataupun menjadwal-ulangkan utang seolah-olah menjadi tolok ukur “keberhasilan” tim ekonomi. Tidak ada upaya total untuk mengurangi tingkat utang (debt stock). Padahal, tingkat utang yang terlalu besar adalah pertanda negeri ini mempunyai beban yang berat di masa mendatang.

Persoalan mendasar yang perlu dijawab adalah, apakah upaya yang harus ditempuh agar manajemen utang luar negeri pemerintah bisa lebih optimal? Optimal di sini dilihat dari tiga tolok ukur utama. Pertama adalah dari sisi tingkat utang. Tolok ukurnya, apakah tingkat utang sudah dikurangi sedemikian rupa, sehingga utang luar negeri Indonesia menjadi lebih terkendali (sustainable)?. Kedua, dari sisi distribusi manfaat dan biaya ekonomi APBN. Maksudnya, apakah tingkat utang dan term pembayarannya sudah diupayakan sedemikian rupa sehingga beban pembayaran utang (debt service) tidak menimbulkan ketimpangan distribusi sosial dalam APBN?. Ketiga, dari sisi efektifitas pemanfaatan utang. Artinya, apakah utang luar negeri memang benar-benar dimanfaatkan untuk pembangunan sektor-sektor yang mempunyai multiplier output, pendapatan dan kesempatan kerja yang terbesar? Dan, apakah kebocoran utang sudah ditekan semaksimal mungkin?

Untuk mengkaji ketiga butir di atas secara obyektif, Drajad Wibowo menyuguhkan fakta-fakta berikut. Pertama, pembayaran utang luar negeri pemerintah ternyata memakan porsi yang besar dari APBN. Pada tahun 2000 misalnya, sekitar 15,4% penerimaan dalam negeri pemerintah dipakai untuk membayar pokok dan bunga utang luar negeri, setelah dikurangi dengan nilai utang yang dijadwal ulang. Pada periode 2001-2003, rasio ini tidak mengalami penurunan yang signifikan, berkisar 13-15%. Sementara itu, sebagai porsi dari total penerimaan pajak penghasilan (PPh) dan pajak pertambahan nilai (PPN), foreign debt service tetap berada pada level 20-26%., atau sekitar 1/5 hingga ¼ dari PPh dan PPN. Perlu dicatat, sejak 2003 semakin banyak utang-utang yang dijadwal ulang melalui Paris Club 1 (September 1998) dan Paris Club 2 (April 2000) yang habis masa jeda bayar utangnya (grace period). Pada tahun 2005 nanti, utang yang dijadwal ulang melalui Paris Club 3 juga mulai habis masa grace period-nya. Konsekwensinya, beban pembayaran pokok utang pada tahun-tahun mendatang akan meningkat. Dengan demikian, tanpa perubahan manajemen utang luar negeri secara radikal, sulit mengharapkan rasio di atas akan membaik secara signifikan.

Kedua, karena besarnya utang dalam negeri. Di masa mendatang kemampuan pemerintah membayar utang-utangnya cenderung menurun, atau pemerintah semakin tergantung kepada penjadwalan ulang melalui Paris Club. Karena pemerintah mengandalkan penjadwalan ulang terus menerus, maka tampaknya akan terus dirasakan Indonesia hingga beberapa tahun mendatang. Bahkan dengan reprofiling, kondisi di atas akan terjadi hingga tahun 2018. Ini berarti, ketimpangan distribusi sosial dalam APBN akan terus dialami Indonesia hingga 15 tahun ke depan. Kesalahan manajemen utang pada masa sekarang membuat dua generasi bangsa Indonesia harus menanggungnya.

Ketiga, tingkat utang luar negeri jangka panjang Indonesia ternyata sudah melampaui batas aman. Angka psikologis aman adalah 30-40% PDB. Sebelum krisis, tahun 1996 kondisi kita sudah buruk (57%), lalu naik menjadi 113%, dan turun menjadi sekitar 71% pada tahun 2002. Keempat, Indonesia perlu waktu puluhan tahun untuk melunasi utang luar negeri pemerintahnya. Kelima, utang luar negeri pemerintah memakan porsi yang besar dari cadangan devisa. Setiap tahun, tanpa penjadwalan ulang, utang luar negeri pemerintah yang jatuh tempo mencapai sekitar US$­­ 4-5 milyar. Ditambah dengan beban utang swasta, total kewajiban luar negeri jangka pendek Indonesia diperkirakan US$­­ 7-9 milyar per tahun. Ini setara dengan 1/3 – 1/4 cadangan devisa Indonesia. Akibatnya, terdapat potensi tekanan permintaan valas yang cukup kuat. Fakta ini tentu membuat rentan stabilitas makro Indonesia.

Keenam, selama 1995-97 (sebelum krisis), sebenarnya utang luar negeri sudah menjadi net capital drain out. Artinya, nilai utang yang diterima sudah di bawah pembayaran pokok dan bunganya. Ini tercermin dari negatifnya lalu lintas modal publik sebesar USD 200-800 juta/ tahun.

Jadi, tingkat utang luar negeri pemerintah Indonesia memang sudah pada tingkat yang sulit dikelola. Lalu apakah strategi penjadwalan ulang cukup memadai untuk mengatasinya? Jelas tidak. Penjadwalan ulang hanya memindahkan persoalan ke waktu yang lebih lama. Tapi bebannya tetap saja sama. Sebagai misal, Jepang setuju menjadwal ulang utang senilai US$­­ 2.8 milyar, hingga setidaknya tahun 2016. Padahal, selama 2016-2018 terdapat beban utang dalam negeri sekitar Rp 140 triliun/tahun. Jelas ini membuat beban hutang APBN tahun tersebut akan membengkak. Oleh sebab itu, selain penjadwalan ulang, diperlukan strategi lain yang lebih radikal agar manajemen utang luar negeri pemerintah bisa lebih optimal.

Secara teoretis, ekonomi makro klasik mengenal konsep yang disebut Ricardian Equivalence (RE). Premis dasarnya, utang pemerintah bersifat netral, tidak mempunyai efek terhadap suku bunga, investasi, perdagangan, inflasi dan Produk Domestik Bruto (PDB). Konsekwensinya, tidak terdapat efek redistribusi pendapatan. Ini memunculkan pameo “there is no burden of the national debt” (Wibowo, 2003).

Dalam konteks utang luar negeri, teori ini berpandangan, kalau pembangunan tidak dibiayai dengan utang luar negeri, maka sumber dana diambil dari dalam negeri. Artinya, masyarakat harus membayar pajak yang lebih tinggi, sehingga pendapatan disposibel merosot. Akibatnya, konsumsi domestik berkurang. Karena konsumsi menyumbang 50-70% pertumbuhan, maka pertumbuhan pun terhambat.

Dalam manajemen klasik, tolok ukur yang dipakai pun klasik, yaitu debt ratio. Intinya, jika debt ratio terlalu tinggi, maka utang lama dijadwal ulang. Tapi untuk menutup defisit fiskal, dibuat utang baru lewat forum CGI. Prakondisinya, stabilitas makro harus dijamin. Manajemen utang klasik sebenarnya tidak sepenuhnya salah. Yang salah adalah, fokus yang berlebihan terhadap komponen-komponen manajemen utang klasik tersebut, tanpa memperhatikan efek distribusi sosialnya. Ini diperburuk oleh kecenderungan pendukungnya untuk menafikan alternatif lain, yang dianggap seolah-olah “tidak mempunyai landasan teori”.

Di sinilah letak kesalahan utamanya. Fanatisme terhadap manajemen utang klasik membutakan pundukungnya terhadap kreatifitas alternatif. Padahal, kreatifitas tersebut bukannya tanpa preseden empirik, karena bentuk dasar dari kreatifitas itu sudah pernah diterapkan di negara lain dan di dalam kasus utang swasta. Fanatisme di atas juga membuat pendukungnya mempunyai spektrum yang sempit dalam renegosiasi utang dengan para kreditor. Ini karena mereka hanya mengandalkan argumen- argumen teknis ekonomis saja. Padahal dalam praktek, negara-negara yang memperoleh keringanan utang luar negeri yang sangat besar justru mereka yang menggunakan argumen geopolitik dan strategik.

Dengan argumen di atas, agar manajemen utang luar negeri pemerintah lebih optimal, beberapa butir berikut perlu dilakukan (Wibowo, 2003):

1. Indikator Tambahan

Manajemen klasik biasanya menggunakan rasio dari outstanding utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), atau debt ratio, sebagai indikator utamanya. Ini berlaku bagi utang jangka pendek, jangka panjang, domestik maupun luar negeri. Untuk peubah “kemampuan membayar utang”, dipakai debt service ratio yang membandingkan kewajiban pembayaran utang, baik pokok dan bunganya, dengan penerimaan ekspor.

Pendekatan di atas mengabaikan fakta bahwa pembayaran utang pemerintah mempunyai konsekwensi keadilan sosial, baik antar kelompok masyarakat dalam satu generasi (intra-generational equity) maupun antar generasi sekarang dengan generasi mendatang (inter- generational equity). Setiap Rupiah yang dialokasikan untuk membayar pokok dan bunga utang mempunyai biaya oportunitas sosial (social opportunity costs). Ini karena setiap Rupiah tersebut bisa direalokasikan untuk program padat karya, kesehatan, pendidikan, investasi infrastruktur, pengurangan pajak dan berbagai alternatif pos penerimaan dan pengeluaran fiskal lainnya. Trade off atau efek distribusi dari pembayaran utang ini sama sekali diabaikan.

Oleh sebab itu, sejak Desember 2001 mulai menggunakan sebuah indikator tambahan, yaitu rasio antara kewajiban pembayaran pokok dan bunga utang (debt services) terhadap penerimaan pajak atau penerimaan APBN. Ini merupakan debt service ratio to fiscal revenues (DSRFR). Kalau rasio ini dibandingkan dengan proprosi pos penerimaan dan/atau pengeluaran fiskal lainnya, maka diperoleh gambaran mengenai seberapa terakomodasinya aspek keadilan sosial dalam manajemen utang. Untuk kasus Indonesia, rasio ini juga semakin menunjukkan perlunya reorientasi manajemen utang pemerintah, dengan re-fokus kepada pengurangan debt stock, bukan pengalihan utang ke generasi mendatang dan/atau penambahan utang baru. Ini juga membawa konsekwensi tambahan, yaitu utang baru seyognyanya tidak digunakan untuk sisi konsumsi dalam APBN. Tapi justru lebih difokuskan untuk pembangunan infrastruktur seperti listrik, jalan dan komunikasi.

2. Pengurangan Pokok Utang

Beberapa langkah yang bisa dilakukan adalah:

a. Penghapusan utang melalui kombinasi rekayasa keuangan dan renegosiasi komersial dengan kreditor.

Salah satu cara yang bisa dipakai adalah melalui berbagai bentuk rekayasa keuangan seperti debt to equity swap. Sebagai contoh, sebuah perusahaan asing akan menanam modal senilai US$­­ 70 juta. Melalui renegosiasi komersial, utang pemerintah bisa diperdagangkan di pasar sekunder dengan diskon, katakanlah, 30%. Broker perusahaan tersebut akan membeli utang pemerintah senilai US$­­ 100 juta dengan harga US$­­ 70 juta (diskon 30%). Pemerintah setuju membayar Rupiah senilai, katakanlah, US$­­ 80 juta, kepada perusahaan. Bisa juga hanya senilai US$­­ 70 juta, tapi dikompensasi dengan kemudahan pajak.

Hasilnya, utang senilai US$­­ 100 juta terbayar, FDI masuk senilai US$­­ 70-80 juta, sementara utang pemerintah terhapus 20-30%. Memang ada resiko inflatoir, terutama kalau dana pemerintah diperoleh dari pencetakan uang. Makanya, kita perlu BI yang independen sehingga hal ini tidak terjadi.

Solusi di atas memang perlu renegosiasi yang ruwet. Tapi, ada baiknya kita belajar dari kriris utang Meksiko Agustus 1982. Solusi awal yang diusulkan mirip dengan strategi IMF di Indonesia. Yaitu, percepatan pertumbuhan ekonomi melalui penyesuaian struktural dan reformasi ekonomi. Kue PDB yang membesar diharapkan menurunkan rasio utang/PDB, sehingga debitor lebih layak kredit dan bisa memperoleh kucuran utang lagi. Konsep yang dikenal dengan “Rencana Baker 1985″ ini gagal total karena gagalnya reformasi ekonomi, serta adanya time lag antara reformasi dengan pertumbuhan PDB. Rencana Baker diganti dengan “Rencana Brady”, di mana kreditor AS dapat menghapus utang, ditukar obligasi Brady. Teknik swap ini membuat Meksiko bisa menghapus utang US$­­ 29,4 milyar, dan menghemat pembayaran utang US$­­ 3,8 milyar per tahun. Tentunya, selain dengan obligasi, utang bisa ditukar dengan ekuitas, likuiditas mata uang domestik, atau konservasi sumber daya alam (debt-for-nature swap). Konversi utang menjadi ekuitas bisa dilakukan dalam kerangka privatisasi, sehingga diperoleh sinergi yang mampu mendongkrak harga pasar.

Salah satu usulan Tim Independen tentang Obligasi Rekap adalah tukar guling antara utang luar negeri dengan obligasi rekap. Dalam kasus ini, utang luar negeri tetap tidak berkurang, hanya difokuskan pada pembangunan infrastruktur. Namun, pemerintah memperoleh keuntungan berupa berkurangnya public domestic debt stocks.

b. Pengurangan debt stock melalui arbitrase internasional

Solusi ini memerlukan sinerji dan pembangunan jaringan yang kuat dengan NGOs di negara-negara maju. Ide dasarnya, pihak kreditor multilateral (Bank Dunia dll) dan bilateral ikut bertanggungjawab atas kegagalan mereka menjamin tercapainya good governance dalam manajemen utang para debitor. Sehingga, muncullah wacana mengenai utang najis (odious debt), di mana kreditor memberikan kemudahan dan hair cut untuk mengkompensasi utang najis tersebut.

Kalangan NGOs dalam dan luar negeri sangat antusias dengan alternatif ini. Walaupun belum ada preseden yang signifikan, tidak ada salahnya negara-negara debitor seperti Indonesia mencoba alternatif ini.

c. Negosiasi utang luar negeri pemerintah pada level geopolitik dan strategik

Pemerintah dan Bank Dunia mengklaim, Indonesia memperoleh terms yang semakin baik dalam Paris Club (PC) 3, dibandingkan PC1. Masa jatuh tempo misalnya, naik dari 11 tahun ke 18 tahun untuk utang non-ODA. Masa tenggang (grace period) naik dari 5 tahun ke 10 tahun untuk ODA, dan ada penjadwalan ulang terhadap bunga.

Namun, berdasarkan laporan European Network on Debt and Development (EURODAD), terms yang diperoleh Indonesia lebih jelek dari negara lain. Indonesia hanya diberikan Houston Term. Padahal kalau memperoleh Naples Term, Indonesia bisa meminta pengampunan hingga 67% dari total utang non-ODA. Untuk utang ODA, bahkan bisa memperoleh masa tenggang 16 tahun, dengan tingkat bunga yang didiskon selama 40 tahun.

Sebagai bandingan, Pakistan memperoleh pemotongan 30% dari net present value (NPV) utang ODA dan non-ODA. Sisa utang ODA dijadwal ulang 38 tahun, dengan masa tenggang 15 tahun. Yugoslavia memperoleh potongan 66,7% dari NPV utangnya, sementara Polandia dikurangi 50% dari total utang.

Kenapa demikian? Alasan utamanya, Indonesia terjebak dalam argumen teknis ekonomis, sementara negara-negara di atas menggunakan argumen geopolitik dan strategik. Jadi, kita harus mengubah strategi negosiasi utang, dengan memanfaatkan berbagai faktor non-teknis ekonomis.

d. Renegosiasi bilateral, terutama dengan Jepang

Sekitar 1/3 dari debt outstanding Indonesia adalah dengan Jepang. Kepentingan strategik Jepang, baik dalam membendung ambisi geopolitik China, dalam restrukturisasi multinasionalnya hingga keinginan menahan serbuan produk China ke pasar domestik Indonesia, merupakan potensi negosiasi. Jepang bahkan berpotensi untuk berperan seperti AS terhadap Meksiko kalau skema serupa Brady Bonds diterapkan bagi Indonesia.

Kesalahan Indonesia adalah belum apa-apa sudah meminta hair cut. Ini dilakukan tanpa terlebih dulu mengembangkan skema-skema rekayasa keuangan yang mengkombinasikan berbagai bentuk swap dengan kepentingan geopolitik, strategik, dan ekonomi Jepang di kawasan Asia Tenggara. Padahal, kita semestinya bisa mendesain skema penyelesaian utang bilateral yang dikaitkan dengan, katakanlah, insentif investasi dan pasar bagi multinasional Jepang relatif terhadap China.

3. Pengendalian debt service sebagai rasio penerimaan Negara.

Dalam era globalisasi saat ini, tidak sedikit negara yang berlindung di balik Undang-Undang dalam negeri untuk melindungi kepentingannya. Sebagai misal, AS tidak jarang mengancam penggunaan Undang-Undang yang dikenal sebagai Super 301 untuk membatasi impor dari negara-negara yang dianggap merugikan kepentingan AS. UU Bioterorisme adalah contoh yang lain. Negara-negara Eropa juga sering berlindung di balik Undang-Undang tentang lingkungan, misalnya tentang produk transgenetik, untuk memproteksi produk-produk pertaniannya. Dengan tingkat utang yang sangat tinggi, sementara di lain pihak terdapat pasar domestik yang sangat besar, tingkat upah yang kompetitif dan sumber daya alam yang besar, Indonesia sebenarnya memiliki potensi posisi tawar yang tinggi. Tingkat utang yang terlalu besar membuat credit exposure dan default risks kreditor utama Indonesia sangat tinggi. Ini sangat relevan bagi Jepang, yang merupakan kreditor terbesar Indonesia dengan tingkat piutang USD 45 milyar, dan kepentingan ekonomi regional yang besar. Pemberlakuan batas maksimum bagi pembayaran utang pemerintah, terutama hutang luar negeri, jelas akan membuat sumber daya dan dana yang tersedia bagi perekonomian domestik makin besar. Pengelolaan dana tersebut harus dilakukan dengan transparansi maksimum, dan diawasi oleh sebuah Forum Multi-Stakeholder yang melibatkan publik secara luas. Dana tersebut bisa tetap menjadi bagian dari APBN, atau dimasukkan ke dalam sebuah Trust Fund, yang tidak boleh digunakan untuk berinvestasi di pasar modal dan pasar uang.

Ide alternatif di atas bukannya tanpa resiko dan potensi dampak negatif. Komunikasi dan negosiasi intensif dengan kreditor utama, khususnya Jepang, diharapkan dapat memperkecil resiko dan dampak negatif tersebut. Karena itu, pemerintah perlu lebih pro-aktif dalam melakukan negosiasi ekonomi, tapi dengan tujuan yang berbeda dengan pada masa lalu. Di masa lalu, tujuannya adalah memperoleh utang baru. Dengan Undang-Undang ini, tujuannya adalah membatasi pembayaran utang, sehingga utang baru dari CGI mungkin tidak dibutuhkan lagi.

Hal ini merupakan tantangan bagi pemerintahan baru untuk menekan lembaga donor seperti IMF bukan sekedar meminta maaf, tetapi harus membantu Indonesia dalam melakukan negosiasi agar memperoleh keringanan pembayaran utang luar negeri, terhadap Jepang misalnya.


PENUTUP

Permasalah utang luar negeri merupakan persoalan serius. Jeratan utang telah menghancurkan-leburkan negeri ini dan menjadikan rakyat semakin miskin. Pembahasan utang luar negeri ini dilakukan dengan mengaitkan dimensi utang yang sudah menjadi jebakan (debt trap”) dalam kaitannya dengan anggaran publik dan ekonomi rakyat yang lebih luas. Utang yang besar telah menjadi beban anggaran, yang pada gilirannya menjadi beban rakyat.

Utang luar negeri menjadi ancaman bagi stabilitas ekonomi Indonesia, baik melalui tekanan defisit fiskal, ketimpangan distribusi sosial dalam APBN maupun tekanan atas cadangan devisa. Tingkat utang yang terlalu besar adalah pertanda negeri ini mempunyai beban yang berat di masa mendatang.

Pemerintah wajib mengupayakan agar manajemen utang luar negeri bisa lebih optimal, yang dapat dilihat dari tiga tolok ukur utama. Pertama, adalah dari sisi tingkat utang. Kedua, dari sisi distribusi manfaat dan biaya ekonomi APBN. Ketiga, dari sisi efektifitas pemanfaatan utang.

Alternatif seperti yang diajukan di atas sebenarnya masih bisa dikembangkan dengan berbagai variasi. Sayangnya, Undang-Undang Keuangan Negara yang disetujui DPR menggunakan paradigma klasik dalam manajemen utang. Di sini, indikator yang digunakan hanya debt ratio yang dibatasi 60% PDB. Padahal, Undang-Undang ini semestinya bisa memasukkan pembatasan debt service sebesar masing-masing 10% penerimaan negara untuk utang luar dan dalam negeri.

Akhirul Kalam, jika bangsa ini mau berubah, maka memunculkan kreatifitas alternatif dengan berbagai strategi brilian-radikal adalah sebuah keniscayaan. Pertanyaan kemudian, apakah pemerintahan baru berani mengambil langkah tersebut? Mungkin itulah yang kita tunggu. Wallahu a’lam [ ]

DAFTAR PUSTAKA

Adams, Patricia. 1991. Odious Debt: Loose Lending, Corruption, and the Third World’s Environmental Legacy. Eartscan: Canada Chomsky, Noam. 2000. Jubilee 2000. htpp://www.zmag.org/

Didik J. Rachbini, Ekonomi Politk Utang, 2000

Didik J. Rachbini, Utang Luar Negeri dan Ekonomi Rakyat, artikel, www.ekonomirakyat.org, 2004

Drajat Wibowo, Optimalisasi Manajemen Utang Luar Negeri Pemerintah, makalah, 2003.

Goerge, Susan. 1999. A Short History of Neoliberalism: Twenty Years of Elites Economics and Emerging Opportunities For Structural Change, http://www.millenium-round.org/

Sri Edi Swasono & Sritua Arief, Pembangunan Tanpa Utang: Utang Luar Negeri dan Ekonomi Indonesia, Republika, 15 Desember 1999

Transparency International. 2001. Corruption Perception Index 2001. http://www.transparency.org/

Umar Said A., Paris Utang Najis Sebagai Alat Pendidikan Bangsa, detakanalisis.com, 20 April 2002

www.eramuslim.com, Politik Utang Indonesia: Politik Tambal Sulam, 13 Desember 2003

http://www.walhi.or.id, Persoalan Utang Luar Negeri Merupakan Persoalan Utama Bangsa Indonesia, 2004.

World Bank. 1997. Memoranda on Corruption in Indonesia: Confidential World Bank Indonesia Resident Staff Views Regarding the Problem of “Leakage.” http://www.parliament.uk/

*Jurnal Equilibrium, September–Desember 2004

**Dosen/Peneliti STIE Ahmad Dahlan Jakarta